Saturday, December 16, 2006

Edisi 22

Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah Tidak "Ndeso"
Beragama yang Tidak Korupsi

Oleh: Faisal

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. "Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan."
"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya.
"Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.
"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang
memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid,
melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat,
baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik VS Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka." Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport. Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan. Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama. []

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kurban Kolektif

Oleh: Abu Muhammad

Sebentar lagi, kaum Muslimin akan memperingati hari raya Kurban, ‘Idul Adha. Pada musim-musim ketika kambing dan sapi ramai diperdagangkan, pada saat yang sama ramai juga beredar hadits-hadits tentang keutamaan berkurban. Sebagian mubaligh menyampaikan bahwa binatang ternak yang kita kurbankan akan membantu kita dalam menyeberangi shirath di hari akhir nanti.

Terlepas dari makna batiniah ibadah kurban, saya ingin menyoroti isu tentang kurban kolektif. Selama ini yang kita pahami, satu ekor kambing hanya boleh diniatkan untuk menjadi kurban satu orang saja. Sementara satu ekor sapi bias dikeroyok oleh tujuh orang. Apakah memang demikian? Sebagian sahabat menyampaikan kepada saya bahwa keharusan satu ekor kambing untuk satu orang kadang-kadang membuat kurban hanya dibatasi kepada yang mampu saja. Apakah seekor kambing, seperti halnya sapi, tidak bias dikeroyok untuk dikurbankan sama-sama? Sekiranya kita hanya mampu menyumbang Rp. 50.000,- tidak bisakah uang itu kita gunakan untuk beribada?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya ingin mengutip hadits yang diriwayatkan dalam Nayl al-Awthar, kitab yang sering menjadi rujukan saudara-saudara kita di Persatuan Islam (PERSIS) dan Muhammadiyah. Dalam kitab itu, pada juz ke 6 hlm. 122, Bab Nabi berkurban untuk Umatnya, terdapat hadits nomor 2098 dan 2099 dengan bunyi sebagai berikut:

(2098) Dari Jabir, berkata: Aku shalat bersama Rasulullah Saw pada hari Idul Adha. Usai shalat, Nabi dating dengan membawa seekor kambing dan menyembelihnya seraya berkata: Bismillahi wallahu Akbar. Allahumma hadza ‘anni wa ‘an man lam yudhahhi min ummati. Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar. Ya Allah, (kurban) ini dariku dan dari siapa pun yang tidak (mampu) berkurban di antara ummatku. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, Sunan Abu Dawud, dan Turmudzi.

(2099) Dan dari Ali bin Husain dari Abi Rafi’ dari Rasulullah Saw bahwa Nabi ketika berkurban membeli dua ekor kambing yang gemuk, sehat, dan putih bersih. Setelah shalat dan berkhutbah, seekor kambing itu didatangkan kepada Nabi dan Nabi berdiri di Mushallanya kemudian menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri. Kemudian berkata: Allahumma hadza ‘an ummati jami’an man syahida laka bil tauhid wa syahida li bil balagh. Ya Allah, (kurban) ini dari semua umatku yang bersaksi kepada-Mu dengan keesaan dan yang bersaksi kepadaku terhadap apa yang aku sampaikan. Kemudian didatangkan kambing yang kedua, lalu Nabi menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri dan berkata: Hadza ‘an Muhammad wa Ali Muhammad, (kurban) ini dari Muhammad dan keluarga. Dengan kedua kurban itu dikenyangkanlah seluruh yang miskin dan Nabi memakannya bersama keluarganya sebagian dari daging kurbannya…..Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Menarik untuk mencermati kedua hadits di atas, bahwa sebetulnya kurban kolektif bukan saja dibolehkan, tetapi pernah dicontohkan Nabi Saw. Meski dalam keterangan akan hadits yang pertama Imam Ahmad mengatakannya sebagai hadits dha’if, tetapi hadits yang kedua diriwayatkan beliau sebagai hadits yang sampai pada derajat hasan. Imam Ahmad meriwayatkan kedua hadits ini dalam Musnadnya 8:3. Sunan Abu Dawud memuatnya pada kitab Al-Adhahi, bab “Yang dikurbankan atas nama jama’ah” sedangkan Imam Turmudzi dalam Sunan-nya bagian Al-Adhahi, bab 22 hadits nomor 1521.

Dalam lanjutan keterangan yang tercantum pada kitab Nayl al-Awthar, disebutkan bahwa dua hadits ini menunjukkan dalil dibolehkannya seseorang untuk berkurban atas dirinya dan atas keluarganya, kerabatnya, dan menyerikatkan mereka dalam pahalanya. Demikian dikatakan jumhur para ulama. (Nayl al-Awthar,k juz 6, hlm. 123). Nayl al-Awthar juga memuat hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam shahihnya pada Al-Adhahi:19 dari Anas bahwa Rasulullah Saw diriwayatkan berkata: Allahumma taqabbal min Muhammad wa Ali Muhammad wa’an ummati Muhammad, Ya Allah, terimalah dari Muhammad, dan keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad.

Masih dalam Nayl al-Awthar juga disebutkan bahwa Ibnu Majah dan Turmudzi meriwayatkan hadits dari Abu Ayub tentang seseorang yang menyembelih kambingnya pada masa Nabi Saw atas nama dirinya dan keluarganya. Abu Hurairah juga diriwayatkan menyampaikan hadits ini dalam keterangan yang disampaikan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim.

Meskipun setelah memuat hadits-hadits di atas Nayl Al-Awthar masuk pada pembahasan apakah berkurban itu wajib atau sunnah, cukup bagi kita untuk mengambil kesimpulan bahwa hadits tentang kebolehan menyembelih seekor kambing dengan niat lebih dari satu orang diriwayatkan oleh hampir semua ahli hadits. Muslim, Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Al-Hakim, dan Imam Ahmad meriwayatkan tentang ini dalam berbagai redaksinya. Hanya Imam Ahmad yang memberi keterangan dha’if, itupun pada hadits yang pertama. Sedangkan para ulama pengumpul hadits yang lainnya tidak memberikan keterangan tentang kedha’ifannya. Bahkan, Imam Ahmad pun menilai hadits yang kedua –dalam konteks redaksional yang sama– sebagai hadits hasan. Kemungkinan hadits yang pertama masuk dalam kategori dha’if oleh Imam Ahmad ditinjau dari sisi sanad. Wallahu a’lam.

Bila enam ahli hadits dan satu Imam Ahmad meriwayatkan hadits tentang menyembelih kolektif dengan keterangan hadits hasan, maka tidak ada lagi kekhawatiran bagi kita untuk mulai membiasakan diri berpartisipasi dalam berkurban sejauh kemampuan yang kita miliki. Tentu bila kita mampu berkurban seekor kambing, maka itu baik untuk kita lakukan. Sama baiknya bila kita baru bias menyumbang sebagian dari harga seekor kambing itu. Sebaliknya, kurban kolektif bias jadi buruk bila dilakukan oleh orang yang bisa berkurban seekor penuh. Dengan dalil-dalil di atas kita ingin bersama-sama mengajak masyarakat untuk melakukan kurban sebatas kemampuan yang kita miliki. Saya kira Tuhan tidak pernah akan kebingungan untuk “membagi” pahala kurban itu di antara kita.

Lalu bagaimana dengan distribusi daging kurbannya? Sesuai hadits Nabi di atas, daging kurban itu kemudian diberikan sebagai makanan bagi fakir miskin, dan Nabi beserta keluarganya juga memakan sebagian dari kambing itu. Saya kira, kita cukup dewasa untuk bisa membagi distribusi kurban kolektif itu, atau –lebih baik lagi– kita relakan semua untuk mengenyangkan mereka yang kelaparan di sekitar kita. Selamat menyambut Idul Adha dengan kurban kolektif! []


1 comment:

Anonymous said...

saya sangat sependapat dengan tulisan saudara Faisal itu. sering kali kita menganggap bahwa seseorang itu shaleh hanya karena melihat dia rajin shalat, ngaji. tetapi kita tidak tau bagaimana dia mengimplementasikan keyakinannya itu pada kehidupan sosial.