Thursday, January 11, 2007

Edisi 23

Dhul-Hijjah: Bulan Penyempurnaan Agama Islam

Oleh: Teguh Sugiharto, SE

Umat Islam seluruh dunia merayakan tanggal 10 Dhul-Hijjah sebagai hari raya yang ditandai dengan pemotongan hewan kurban. Peristiwa ini dilaksanakan untuk memperingati peristiwa penyembelihan Ismail as putera Ibrahim as. Penyembelihan ini diperintahkan Allah SWT sebagai ujian pada keimanan dan ketaatan mereka berdua. Juga sebagai sebagai contoh pengorbanan di jalan Allah SWT. Setelah penyembelihan ini beliau –dan keturunaannya yang disucikan- diangkat sebagai Imam bagi seluruh umat manusia. Argumentasi historis maupun tekstual mengenai hal ini telah menjadi sebuah pengetahuan yang diketahui hampir seluruh umat Islam.

Namun umat Islam pada umumnya melupakan atau malahan tidak mengetahui bahwa dalam bulan Dhul-Hijjah juga terjadi peristiwa lain yang tidak kalah besar (untuk tidak mengatakan jauh lebih akbar) untuk diperingati. Yaitu pada tanggal 18 Dhul-Hijjah 10 Hijrah (Haji Wada’) turun ayat penyempurnaan agama dan keridhaan Allah SWT pada umat, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS 5: 3). Artinya pada hari tersebut selesailah tugas Rasulullah SAW menyampaikan risalah. Hanya sebagian kecil umat Islam yang dengan konsisten merayakan dan memperingati hari bersejarah ini dan menyebutnya sebagai hari raya Idhul Ghadir mengambil nama tempat turunnya ayat tersebut.

Tampak jelas dalam ayat di atas bahwa Islam disempurnakan oleh Allah SWT sebagai agama bagi manusia sampai dengan akhir zaman. Penyempurnaan agama Islam terjadi sesudah Allah SWT menganugerahkan sebuah nikmat (telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku). Nikmat menjadi kata kunci dalam memahami ayat di atas karena nikmat tersebut adalah nikmat tersebut adalah sesuatu yang menjadi sebab sempurnanya agama dan dengannya Allah SWT meridhai Islam sebagai agama bagi manusia.

Sebagai umat yang selalu diperintahkan Allah SWT agar menggunakan akalnya maka sudah sewajarnyalah kita berusaha mendalami dan mencari makna atau tafsir dari ayat ini. Ayat ini dapat menjadi modal awal perenungan dan pencarian sehingga kita juga akan memperoleh nikmat tersebut dan mendapat keridhaan Allah SWT. Pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah nikmat apakah yang dimaksudkan oleh ayat tersebut. Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam khazanah Hadist dan tinjauan sejarah agama. Namun artikel ini hanya akan mencari jawabannya dalam Al-Qur’an. Itupun hanya sekadar pemicu atau petunjuk ringkas saja yang semoga dapat mendorong kita semua kembali membuka dan mempelajari Al-Qur’an yang merupakan petunjuk Allah yang akan tetap terjaga kebenaran dan keotentikannya sampai akhir zaman. Jika belum mampu memahami bahasa Arab maka merenungkan terjemahnya pun telah mencukupi sambil terus mencari dari berbagai sumber khususnya dari para ulama dari berbagai ragam pemikiran agar didapatkan kesimpulan umum yang cukup memuaskan dahaga keberagamaan.

Ternyata nikmat dimaksud dipandang Allah SWT sebagai sesuatu hal yang sangat penting. Malahan sebagai kunci sempurna atau cacatnya keislaman seseorang. Allah SWT berulangkali menanyakan nikmat tersebut khususnya dalam surat Ar-Rahman. Dalam surat ini setelah Allah SWT terangkan tentang berbagai nikmat yang dikurniakan kepada manusia maka Allah SWT menanyakan tentang nikmat. Alhasil, nikmat yang ditanyakan adalah nikmat yang belum disebutkan dalam surat ini. Maka untuk mengetahui nikmat apakah yang dimaksud kita harus mencari jawabannya dalam berbagai surat lainnya. “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar Rahman: 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77). Silakan meneliti Al-Qur’an tentang hal ini!

Tentang pentingnya nikmat dimaksud secara jelas dapat kita temukan dalam banyak ayat khususnya QS 55: 39, “Pada waktu itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya.” tetapi “kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang nikmat.” (QS 102: 8) Ternyata Allah SWT pada hari kiamat tidak akan menanyakan dosa yang telah kita buat namun Allah SWT hanya menanyakan: apakah manusia mensyukuri nikmat yang menjadi sebab disempurnakannya Islam. Jelas yang ditanyakan pastilah hal yang sangat besar. Tanpa mengakui dan membawa nikmat ini maka Islam yang dibawa seseorang pada hari kiamat akan dipandang sebagai Islam yang tidak sempurna (karena Islam dipandang sebagai sempurna setelah Allah menganugerahkan nikmat dimaksud) alias Islam yang cacat. Apakah Allah SWT yang Mahasempurna menerima Islam yang cacat? “Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan” (QS Al Mursalat: 15, 19, 24, 28, 34, 37, 40, 45, 47, 49). Mengerikan...! Yang Mahabesar yang menyatakan bahwa siapapun yang mendustakan nikmat tersebut akan mendapatkan kecelakaan yang besar.

Menurut Al-Qur’an, Allah SWT tidak akan menerima ke-Islam-an seseorang yang tidak mensyukuri nikmat dimaksud karena penolakan (atau ketidaktahuan) ini menjadi penanda bahwa sesungguhnya keislaman seseorang mengandungi cacat yang fatal. Seseorang tersebut akan termasuk dalam kategori mereka yang menyimpang dan dimurkai. Bukti akan hal ini dapat dijumpai dalam bacaan shalat. Namun sayangnya kebanyakan umat Islam lengah dan telah merasa cukup dengan apa yang dilakukannya sehingga tidak memperhatikan makna bacaan shalatnya. Bukankah dalam setiap shalat, kita senantiasa membaca Surat Al-Fatihah? Tidakkah di dalamnya terdapat ayat, ihdinash shiratal mustaqim (QS 1: 6), penggunaan kata ash-shirat menunjukkan bahwa kata tersebut adlah kita tunggal. Dengan demikian terjemah dari ayat ini seharusnya adalah “Tunjukilah kami satu-satunya jalan lurus.” Setiap hari minimal 17 kali kita memohon petunjuk, namun sudahkah kita mendengar dan merenungkan jawaban Allah SWT yang ternyata langsung diberikan seketika itu juga.

Allah SWT menjawab permohonan kita dengan menunjukkan satu-satunya jalan lurus. Jalan lurus yang akan mengantarkan kita kepada Allah SWT, kepada tujuan penciptaan manusia adalah “...jalan mereka yang Engkau anugerahi Nikmat kepada mereka” (QS 1: 7) “bukan jalan mereka yang dimurkai dan sesat.” Dari ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa nikmat yang dimaksud dalam QS 5: 3 yang disebut di awal artikel adalah bahwa manusia dapat termasuk ke dalam golongan mereka yang dianugerahi nikmat hanya dan hanya jika mengikuti dan taat kepada mereka. Pertanyaan selanjutnya adalah “Siapakah mereka yang dianugerahi nikmat yang menjadi sebab sempurnanya agama tersebut?” Dan “Nikmat apakah yang dianugerahkan kepada mereka sehingga kita diperintahkan mengikuti mereka?”

Artikel ini tidak berpretensi untuk menjawab dua pertanyaan penting di atas. Pertanyaan yang jawabannya akan menghantarkan manusia pada keselamatan di hari kiamat nanti. Pembaca silakan mencari jawabannya dalam Al-Qur’an. Slogan kembali kepada Al-Qur’an dapat diwujudkan jika umat Islam kembali membuka dan mempelajari makna kandungannya secara kritis. Tujuan artikel ini hanya untuk mengingatkan kembali umat Islam tentang pentingnya menjadikan tanggal 18 Dhul-Hijjah sebagai salah satu hari raya minimal sebagai momentum umat Islam kembali mempelajari Al-Qur’an karena pada hari itu telah terjadi sebuah peristiwa dahsyat. Peristiwa penyempurnaan agama dan diridhainya Islam oleh Allah SWT. Bahkan penyembelihan Ismail as oleh Ibrahim as hanya merupakan satu bagian kecil dari kesempurnaan Islam.

Peristiwa penyembelihan tersebut haruslah dimaknai sebagai contoh pengorbanan seorang manusia dalam mencapai kesempurnaan penciptaannya. Dalam pencapaian tujuan hidupnya. Dewasa ini umat Islam bahkan tidak mau mengorbankan waktunya sekadar untuk mempelajari agamanya. Maukah anda mengorbankan waktu, tenaga, dan pemikiran mengkaji Al-Qur’an sekadar mencari jawaban atas dua pertanyaan di atas? Allah SWT tidak perintahkan kita menyembelih putera kita tercinta sebagaimana pernah diperintahkan kepada Ibrahim as? Akankah kita sanggup jika Allah SWT memerintahkan pertobatan dengan membunuh diri kita sebagaimana pernah Allah SWT perintahkan kepada umat Musa as? Allah SWT pun tak pernah menimpakan bala’ dan bencana (azab) sebagaimana ditimpakan kepada umat-umat terdahulu akibat penentangan mereka terhadap perintah-Nya.

Al-Qur’an pun telah mengingatkan bahwa masuk syurga itu tidak mudah, seperti tersebut dalam QS 2: 214, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) ...” Umat terdahulu telah diuji dan disaring Allah SWT dengan malapetaka dan bencana. Sekarang masihkah kita tetap tidak mengambil pusing peringatan Allah SWT. Marilah kita mencari jalan menuju Allah SWT berdasarkan kartu nama yang telah diberikannya kepada umat manusia yaitu Al-Qur’an.

Akhir kata, mengingat pentingnya kejadian pada tanggal 18 Dhul-Hijjah 10 H (Haji Wada’) sudah sewajarnyalah kita semua memperingatinya demi mendapatkan petunjuk kebenaran. []

Dikutip dari Islam Alternatif

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Pada Hari ini Telah Kusempurnakan…”

Oleh: Yasser Arafat

Pada kesempatan kali ini, saya akan menyampaikan sedikit mengenai salah satu dari sekian banyak sejarah Islam yang telah hilang dari ingatan mayoritas umat Islam.

Pada tanggal 18 Zulhijah, ada sebuah sejarah – kalau boleh saya mengatakan peristiwa tersebut adalah sejarah besar. Saya menyebutnya sebagai sejarah disempurnakannya Agama Islam. Jarang di antara kita yang mengetahui riwayat ini. Bahkan sebagian kaum Muslimin menganggap bahwa riwayat ini adalah riwayat dho’if.

Jadi, pada tanggal 18 Zulhijah, Rasulullah sawaw beserta kaum Muslimin –setelah melaksanakan ibadah haji- berangkat dari Makkah menuju Madinah. Di tengah perjalanan di tempat yang bernama Khum, Malaikat Jibril turun membawa wahyu Allah Swt: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S al-Maidah 67)

Ayat tersebut mengandung makna bahwa Nabi diperintahkan oleh Allah Swt untuk menyampaikan suatu amanat yang sangat penting. Namun Nabi sawaw ragu untuk menyampaikannya, karena Nabi khawatir kalau-kalau umatnya akan menolak amanat tersebut. Lalu Allah memberinya jaminan bahwa beliau akan dilindungi dari gangguan manusia. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir, yaitu orang-orang yang menolak amanat tersebut.

Rasulullah menyuruh sahabatnya untuk berhenti dan membangun mimbar dari pelana-pelana kuda. Di atas mimbar tersebut Rasulullah sawaw menyampaikan pidatonya. Pidato Rasulullah tersebut sangat panjang, sehingga di sini saya akan menyampaikan ringkasannya saja.Nabi berkata, “Wahai manusia, mungkin aku akan segera menerima panggilan Ilahi dan akan berpisah dari kalian semua……”

“Apakah kalian bersaksi bahwa Tuhan semesta alam adalah satu dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya dan bahwa tidak ada keraguan tentang kehidupan di akhirat?”

Mereka semua berkata, “Ya, kami bersaksi atasnya.”

Kemudian Nabi berkata, “ Wahai manusia, aku akan meninggalkan kepada kalian dua hal yang sangat berharga (tsaqalain) sebagai wasiat kepada kalian dan akan dilihat bagaiamana kalian memperlakukan keduanya.”

Seorang lelaki berdiri dan berkata, “Apa dua hal itu ya Rasulullah?”

Nabi menjawab, “Satu darinya adalah Kitab Allah yang satu sisinya terhubung kepada Allah dan sisi lainnya berada di tangan kalian. Satunya lagi adalah al-Itrah Ahlulbaytku. Keduanya tidak akan terpisah selama-lamanya sampai menemuiku di al-haudh.”“Janganlah kalian mendahului keduanya dan jagalah perilaku kalian terhadap mereka, supaya kalian tidak binasa.”

Lalu beliau sawaw mengangkat tangan Ali k.w sehingga terlihat kedua ketika Ali yang putih. Nabi berkata, “Allah adalah maulaku dan aku adalah maula kaum Mukmin. Aku lebih pantas dan berhak atas kaum mukmin daripada diri mereka sendiri.”“wahai manusia, siapa yang aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. (Man kuntu maula fa’aliyuun maula).” (Nabi mengulang sampai 3 kali).“Ya Allah, cintailah orang yang mencintai Ali dan musuhilah yang memusuhinya…..”

Setelah itu Malaikat Jibril turun membawa wahyu Allah Swt: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah 3)

Jadi wahyu dari Allah yang menjadikan sempurnanya agama Islam ini adalah diangkatnya Ali sebagai maula kaum Mukmin.Apa arti maula itu? Maula adalah orang yang lebih pantas dan lebih berhak atas kaum mukmin dari diri mereka sendiri atau bisa dikatakan bahwa maula itu adalah pemimpin.

Riwayat ini termasuk riwayat yang sangat mutawatir. Al-Dzahabi, seorang ahli kritik hadits berkata bahwa riwayat tersebut mutawatir, artinya banyak sekali yang meriwayatkannya. Al-Allamah al-Amini dalam kitab al-Ghadir menyebutkan 110 sahabat besar yang meriwayatkan hadits ini. Menurut Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari juz 7 hlm.74, “Adapun hadits man kuntu maula fa’aliyun maula dikeluarkan oleh Turmudzi dan al-Nasa’i dan sanadnya sangat banyak.”

Inilah secara singkat apa yang terjadi pada peristiwa bersejarah itu, yaitu penyempurnaan Islam. Marilah kita sampaikan pujian kepada Allah yang telah menyempurnakan agama ini, atas kesempurnaan nikmat-Nya dan keridhoan Tuhan terhadap risalah Rasulullah sawaw dan kepemimpinan Ali k.w sesudah Rasulullah sawaw.[]