Tuesday, March 6, 2007

Edisi 1 / 2007

Faktor-faktor Pemadam Kasih Sayang dalam Kehidupan

Emi Nur Hayati Ma’sum Said


Ikatan perkawinan merupakan sebuah ikatan suci yang terjadi karena adanya kebutuhan dan daya tarik antara laki-laki dan perempuan secara timbal balik. Namun, kehidupan harmonis yang bisa membawa pasangan suami istri menuju ke puncak materi dan spiritual, semata-mata karena adanya unsur “kasih sayang”. Mungkinkah ada rumah tangga yang bertahan dan kontinu dengan tanpa adanya kasih sayang kendati sesaat pun? Mungkinkah masing-masing suami istri mampu bertahan menghadapi pasangannya tanpa adanya kasih sayang secara timbal balik dan hubungan kemanusiaan? Sementara Allah mendasari kehidupan rumah tangga dengan fondasi “cinta dan kasih sayang”.

Kendati cinta dan kasih sayang adalah unsur penting dalam kehidupan rumah tangga, namun, sikap dan perilaku suami atau istrilah yang akan mengobarkan atau memadamkan api kasih sayang di antara mereka. Baik perilaku muncul berdasarkan kesadaran atau tidak. Berdasarkan kebodohan atau kesengajaan. Tidak sedikit rumah tangga yang dimulai dengan cinta dan kasih sayang, tetapi karena pasangan suami istri tidak atau kurang mengetahui bagaimana caranya mengendalikan bahtera keluarganya, mereka mengalami kebingungan bahkan sampai tenggelam dalam kehancuran. Ikatan perkawinan yang seharusnya membawa pasangan suami istri mencapai ketenangan dan kedamaian malah membawa mereka ke dalam perselisihan dan dosa.

Dalam tulisan ini, penulis ingin mengangkat wacana faktor-faktor apa saja yang bisa memadamkan api kasih sayang dalam kehidupan sebuah rumah tangga dengan bersandar pada metode kehidupan para maksum as.

Tanpa adanya perhatian serius masing-masing pasangan suami istri, terhadap prinsip-prinsip kehidupan rumah tangga dan akhlak, bahtera yang dibangun selama ini akan pudar begitu saja, yang efeknya tidak saja merusak pribadi masing-masing, akan tetapi masyarakat sekitar juga akan merasakan dampaknya. Karena rumah tangga adalah bagian terkecil dari kehidupan sosial, baik buruknya kehidupan sosial tergantung dengan baik buruknya kehidupan setiap rumah tangga.

Tentu saja faktor-faktor pemadam kasih sayang ini, tidak sedikit. Namun penulis akan membahasnya dalam beberapa poin saja, antara lain: berakhlak buruk yang meliputi - galak, bermuka masam dan cemberut, kata-kata yang pedas dan mencaci maki -, mencari-cari kesalahan, tidak memaafkan, memasukkan urusan luar ke dalam rumah tangga, dan tidak mengungkapkan kasih sayang.

Faktor-faktor Pemadam Kasih Sayang

1. Berakhlak Buruk.

Rasulullah saw bersabda: “Akhlak buruk akan menyebabkan hidup sulit dan batin tersiksa.[1] Akhlak yang buruk merupakan sifat yang jelek, dan sulit bahkan tidak mungkin bagi orang lain untuk menerimanya. Bila salah satu dari pasangan suami istri terjangkit akhlak buruk, maka ia akan mengubah rumah tangganya menjadi sebuah neraka. Dalam riwayat Ahlul Bait as. dijelaskan tentang akibat-akibat dan pengaruh akhlak buruk bagi pelakunya, antara lain; manusia yang berakhlak buruk amal perbuatannya rusak, taubatnya tidak diterima, kehidupannya menjadi sangat susah dan ia adalah teman yang paling jelek, pada dasarnya ia bukan orang mukmin, ia sebagai penghuni neraka, ia akan tersiksa di alam kubur, dan jiwanya tersiksa, keluarganya akan menjauhinya, ia senantiasa merasa tidak tenang, rezekinya sempit, ia tidak memiliki teman dan sahabat, ia tidak akan mencapai tujuannya, kehidupannya gelap dan susah.[2] Berakhlak buruk baik dalam lingkungan kerja maupun lingkungan masyarakat dan lingkungan keluarga adalah penyebab kesusahan bagi pelakunya maupun orang-orang sekitarnya. Dalam riwayat ditekankan: “Jangan sampai kawin dengan orang yang akhlaknya buruk”! karena akhlak buruk menyebabkan kesedihan. Sebagaimana riwayat Imam Ali a.s. bahwa setengah dari penyebab ketuaan adalah sedih.[3] Perlu diingat, bahwa salah satu dari sebab tekanan kubur adalah berakhlak buruk dalam rumah terhadap anggota keluarga, sebagaimana kisah tentang Sa’ad bin Ma’adz. Meskipun acara penguburan Sa’ad dihadiri oleh Rasulullah saw dengan kaki telanjang, ia tetap mendapatkan tekanan siksa kubur. Ketika sebabnya ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab: “Karena ia berakhlak buruk terhadap keluarganya, ia galak terhadap keluarganya”. Kalau seorang sahabat Rasul semacam Sa’ad saja masih mendapat tekanan siksa kubur, bagaimana dengan kita? Yang galak terhadap anggota keluarga. Imam Shadiq as. bersabda: “Salah satu dari doa Rasulullah adalah demikian: “Ya Allah! Aku berlindung dari perempuan yang membuat aku tua sebelum waktunya”. [4]

Tentunya berakhlak buruk di sini memiliki makna umum, dan ia memiliki pembagian-pembagian secara rinci seperti; galak, muka masam dan cemberut, kata-kata pedas, dan mencaci maki dan lain-lain. Sifat-sifat yang ada ini, bila terdapat pada salah satu pasangan suami istri, maka kehidupan rumah tangga akan menjadi pahit dan suram. Yang pada akhirnya menyebabkan padamnya api kasih sayang di antara keduanya. Untuk lebih jelasnya, kita bahas secara rinci masing-masing pembagian di atas bersama unsur-unsur penyebabnya.
Galak

Orang yang galak, biasanya karena unsur genetik, kejiwaan, makanan dan kurang tidur serta istirahat. Bila sebabnya karena unsur genetik dan keturunan, sebaiknya merujuk ke psikiater untuk mendapatkan informasi yang diperlukan, dan adanya latihan-latihan menahan diri. Bila karena kurang tidur dan istirahat, sebaiknya tidur yang cukup dan mengkaji pengaruh-pengaruh dan akibat sikap galak, sehingga bisa dikendalikan dengan baik. Orang boleh lelah karena aktivitasnya di luar rumah, tetapi, ia tidak berhak melampiaskan kelelahannya terhadap pasangan hidupnya atau anak-anaknya.
Bermuka Masam dan Cemberut

Berkaitan dengan masalah muka masam dan cemberut, riwayat Imam Ali as. mengatakan: “Orang mukmin, keceriaannya ada di wajahnya, dan kesedihannya ada di dalam hatinya”. Dengan demikian, orang yang hidup berumah tangga, ia harus lebih menjaga masalah ini. Kita sendiri senang bila berhadapan dengan orang yang mukanya ceria dan ramah, dan tidak suka berhadapan dengan orang yang bermuka masam dan cemberut. Oleh karena itu, orang yang bermuka ceria, ia lebih sukses dalam berhubungan dan berinteraksi dengan sesamanya, dan dicintai oleh anggota masyarakat. Tentu saja, manusia kadang mengalami kesedihan. Namun, jangan sampai kesedihan itu ditampakkan di depan umum, khususnya anggota keluarga. Karena akan mengganggu ketenangan mereka, sehingga mereka akan menjauh dan ini menyebabkan padamnya api kasih sayang dalam kehidupan.

Bermuka masam dan cemberut, boleh jadi karena kebiasaan, terlalu berharap dari orang lain, menganggap diri paling wah, marah, khawatir dan tidak adanya ketenangan serta kondisi kejiwaan. Apapun sebabnya tidak seorang pun boleh menampakkan kecemberutannya di hadapan orang lain. Karena bermuka masam adalah sesuatu yang tidak baik. Dan sebaiknya belajar dari ajaran-ajaran agama, dengan selalu bermuka ceria, senantiasa senyum dan menggunakan kata-kata yang penuh kasih sayang, sabar dalam menghadapi kekurangan orang lain. Jangan banyak menuntut orang lain untuk sempurna dengan menggunakan kata-kata yang menyakitkan. Sementara, kita lupa bahwa dengan muka kita yang cemberut, kita sendiri sedang menjauhi proses kesempurnaan.

Dalam kehidupan rumah tangga, suami istri perlu memperhatikan masalah ini dengan baik. Karena pengaruhnya besar sekali dalam keharmonisan anggota keluarga, terutama dalam pendidikan dan kejiwaan anak-anak. Orang tua yang ceria akan menghasilkan anak-anak yang ceria juga.
Kata-kata Pedas dan Menyakitkan

Kata-kata yang pedas dan menyakitkan hati, tidak lain hanya membuat orang lain benci dan dendam. Imam Ali as. dalam hal ini bersabda: “Kata-kata yang pedas lebih menyakitkan dari tusukan tombak”.[5]

Setiap penyakit, baik penyakit jasmani maupun rohani ada sebabnya. Untuk melakukan penyembuhan dan pengobatan, pada tahap awal harus mencari sebab dan faktor-faktor pencetusnya. Berbicara yang menyakitkan hati orang lain, kata-kata yang pedas dan menyakitkan adalah sebuah penyakit jiwa, dan merupakan akhlak yang buruk. Faktor-faktornya antara lain:

a. Dendam dan Benci

Salah satu penyebab seseorang berbicara menyakitkan adalah dendam dan kebenciannya kepada orang lain. Ketika seseorang memiliki dendam terhadap orang lain, ia selalu tertekan dan tidak tenang, sehingga sebisa mungkin menggunakan kesempatan untuk menyakiti hati dan jiwa orang yang dianggap sebagai lawannya.

b. Hasut

Hasut adalah seseorang tidak menginginkan orang lain memiliki nikmat dan kebaikan. Dengan kata-katanya yang pedas penghasut berusaha merusak dan menjatuhkan orang yang dihasutinya. Perlu diketahui bahwa hasut adalah dosa besar, dan menghapus iman seseorang sebagaimana api melenyapkan kayu. [6]

c. Merasa Hina

Seseorang berkata-kata pedas kepada orang lain, boleh jadi karena ia merasa dirinya rendah dan hina daripada orang lain yang dianggapnya lebih sukses, baik dalam kehidupan, pelajaran dan karier. Oleh karenanya, dengan kata-katanya yang pedas ia ingin menyakiti orang tersebut dan menunjukkannya bahwa ia sebagai orang yang tidak sukses seperti dirinya. Jelas perbuatan ini adalah dosa besar, dan orang yang merasa dirinya rendah dan hina sebaiknya berusaha dengan sungguh-sungguh dan tawakal kepada Allah untuk mencapai kesuksesan, agar selamat dari perbuatan yang buruk ini.

d. Memandang diri Super

Salah satu sebab seseorang berkata pedas adalah bila ia memandang dirinya super. Orang yang memandang dirinya super, ia memandang orang lain kecil dan tidak berarti, akhirnya ia selalu mengejek dan menghina dan menyakiti hati orang tersebut. Orang yang menganggap dirinya super hendaknya perhatian dengan penyakit yang menyerang jiwanya, dan secepatnya untuk mengobatinya.
Mencaci maki

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. [7] Mencaci maki orang lain hukumnya haram. Hukum haram di sini tidak adanya bedanya, apakah orang yang di caci keluarganya; istri, anak atau orang lain yang tidak ada hubungan keluarga. Bagaimanapun kondisinya; marah, tertekan, kesibukan serta kepanikan, seseorang tidak berhak untuk mencaci maki orang lain untuk dijadikan pelampiasan hawa nafsunya. Imam Baqir as. bersabda: “Allah membenci pencaci maki dan orang yang suka mencaci” [8] (mencari-cari kekurangan orang lain sehingga ia bisa mencari alasan untuk mencaci makinya). Orang yang di caci maki akan merasa marah dan benci, bahkan akan padam rasa kasih sayangnya terhadap orang yang mencaci maki. Mencaci maki menunjukkan rendahnya kepribadian pencaci maki. Dan tidak seorang pun akan menampakkan rasa kasih sayang dan persahabatan dengannya. Imam Shadiq as. bersabda: “orang yang ditakuti orang lain karena lisannya, ia adalah ahli neraka”. [9]

2. Mencari-cari Aib dan Kejelekan Orang Lain

Imam Ali as. bersabda: “Jangan menjadi pencari aib dan jangan memandang segala sesuatu jelek”.

Imam Baqir as. bersabda: “Sejelek-jeleknya orang adalah orang yang mencari-cari kejelekan orang lain sementara ia memiliki kejelekan tersebut, tetapi tidak merasakannya”. [10]

Selain Maksumin as. tidak seorang pun memiliki kebaikan semata-mata. Manusia, selain memiliki sisi kebaikan, ia juga memiliki sisi kejelekan. Tidak seorang pun berhak untuk mengharapkan orang lain sempurna. Orang yang selalu bersandar pada kekurangan orang lain, senantiasa curiga dan tidak merasa cukup dengan apa yang ada pada orang lain. Orang yang demikian ini telah kehilangan kreativitas berteman dan menyayangi orang lain. Suami atau istri yang bersandar pada kesalahan pasangannya, sekecil-kecilnya kesalahan pasangannya akan dijadikan alasan untuk memarahinya. Bila suami atau istri demikian, maka pasangannya akan menjauhinya, dan kehidupan bagi mereka tidak menyenangkan lagi.

Bila kita ingin memiliki suasana yang hangat dalam kehidupan rumah tangga, mari kita lihat sisi positif pasangan kita. Sehingga kita tidak mudah marah, juga tidak membuat pasangan kita tersiksa. Selain itu jangan banyak berharap kepada orang lain, sehingga kita tenang dan santai, bila orang lain tidak sesuai dengan keinginan kita. Bila pasangan kita berbuat salah atau berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita, maka jangan spontan melakukan interaksi.

Mencari-cari kejelekan orang lain akan merusak hubungan yang sudah akrab sebelumnya. Bahkan akan menjadikan permusuhan. Sebaliknya memuji kelebihan orang lain akan membuat hubungan semakin akrab.

Sebagaimana pesan Imam Ali as. kepada Imam Hasan as: “Jadikanlah dirimu sebagai tolok ukur! Berlakulah kepada orang lain, bila engkau suka hal itu dipelakukan untukmu, dan jangan memperlakukan orang lain, jika engkau tidak suka diperlakukan seperti itu”. Dudukkan orang lain sebagai diri kita, jika kita senang orang lain menghormati kita maka kita hormati orang lain. Jika kita tidak suka orang lain berakhlak buruk kepada kita, maka jangan berakhlak buruk terhadap orang lain.

3. Tidak mau Memaafkan Kesalahan Orang Lain

Sejelek-jeleknya manusia adalah orang yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain.[11] Pemaaf adalah salah satu dari sifat Allah. Barang siapa yang ingin mendapatkan ampunan ilahi, ia harus memiliki sifat pemaaf. Bagaimana mungkin seseorang akan diampuni oleh Allah, sementara ia sendiri tidak mau memaafkan kesalahan orang lain. Seseorang bisa mengetuk pintu Allah melalui sifat yang dimilikinya. Katakanlah seseorang mau minta ampun kepada Allah, maka ia harus memiliki sifat ilahi tersebut.

Orang yang tidak mau mengampuni kesalahan orang lain, akan membuat orang lain benci dan dendam kepadanya. Apalagi jika hal ini terjadi dalam sebuah rumah tangga. Yang seharusnya anggota keluarga memaafkan yang lainnya, malah keadaan dibikin lebih ruwet yang akibatnya lebih fatal.

4. Memasukkan Urusan Luar ke dalam Rumah Tangga

Seorang suami atau istri yang memiliki kesibukan di luar rumah, senantiasa berhadapan dengan berbagai macam bentuk sikap dan perilaku manusia. Bila suami atau istri di luar rumah bermasalah dengan rekan kerjanya, hal ini tidak perlu diceritakan kepada pasangannya. Mengapa demikian, karena suami atau istri akan menemukan titik kelemahan pasangannya, dan suatu saat akan dijadikan kunci untuk menjatuhkannya, bila terjadi percekcokan di antara keduanya. Begitu juga, masing-masing pasangan suami istri jangan menceritakan kelebihan dan memuji-muji teman kerjanya; teman kerja perempuan maupun laki-laki, karena akan berakibat fatal. Misalnya; suami menceritakan kelebihan teman kerja perempuannya kepada istrinya, maka akan timbul kecurigaan pada istri terhadap suaminya. Begitu juga sebaliknya. Bila suami menceritakan kelebihan teman kerja prianya, maka istri akan membanding-bandingkan orang tersebut dengan suaminya. Sementara, membanding-bandingkan apa yang kita miliki dengan apa yang dimiliki orang lain akibatnya adalah kita tidak merasa nyaman dengan apa yang kita miliki. Kita senantiasa merasa kurang dan lupa dengan pemberian Allah. Yang tampak di mata kita hanya kepunyaan orang lain, sehingga kita tidak mensyukuri apa yang diberikan Allah kepada kita. Orang yang senantiasa membanding-bandingkan pekerjaan, harta, posisi dan segala apa yang dimilikinya dengan apa yang dimiliki orang lain, ia tidak akan merasa tenang dalam hidupnya.

Jalan keluar, agar jangan sampai kita hanya melihat apa yang dimiliki orang lain adalah pertama; meyakini bahwa apa yang diberikan Allah kepada setiap hamba-Nya akan dimintai pertanggung jawaban. Kedua; kita harus melihat orang-orang yang kondisinya lebih rendah dari kita, sehingga kita akan senantiasa mensyukuri apa yang diberikan Allah kepada kita.

Dari sisi lain bila suami menceritakan masalahnya di luar rumah kepada istrinya, dikhawatirkan istri akan menceritakannya kepada kerabatnya, yang pada akhirnya menjadi gosip di antara mereka. Gosip-gosip inilah yang akan menyebabkan keributan dalam sebuah komunitas. Oleh karena itu, tidak semua yang diketahui suami harus diceritakan kepada istrinya, begitu juga sebaliknya. Karena keributan yang terjadi berkaitan dengan keluarga dan akan menyebabkan ketidaknyamanan dalam kehidupan rumah tangga itu sendiri.

Masalah di luar rumah tangga tidak perlu diusung ke dalam lingkungan rumah tangga, begitu juga sebaliknya masalah dalam lingkungan rumah tangga tidak perlu dibawa keluar, bila pasangan suami istri ingin hidup tenang dan tenteram.

5. Tidak Mengungkapkan Rasa Kasih Sayang

Setiap manusia secara fitrah membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari sesamanya. Perhatian dan kasih sayang kaitannya dengan hati. Namun, bila tidak ditampakkan dengan bentuk perilaku dan sikap maka orang lain tidak akan memahaminya.

Berkaitan dengan kehidupan rumah tangga Rasulullah saw bersabda: “Ucapan seorang suami kepada istrinya “Aku mencintaimu” sama sekali tidak akan hilang dari hatinya”. [12]

Seseorang mengungkapkan kasih sayang kepada sesamanya, khususnya ungkapan kecintaan suami kepada istrinya, akan membuat istri memahami seberapa jauh kasih sayang suaminya kepadanya. Pengungkapan kasih sayang bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti; memberi hadiah, menelepon, meluangkan waktu untuk berbincang-bincang, bercanda, dan mengungkapkan dengan kata-kata. Ungkapan kasih sayang suami kepada istri adalah motor penggerak dalam kehidupan mereka.

Bila suami mengingat hari ulang tahun kelahiran istrinya, hari perkawinan mereka, kemudian mengadakan acara untuk mensyukuri ikatan suci ini, suami mengucapkan terima kasih atas segala jerih payah si istri, dan meminta maaf atas segala kesalahannya, maka kehidupan mereka akan lebih ceria dan menyenangkan begitu juga kekhawatiran dan kesedihan yang menghantui pikiran istri tidak akan mampu memisahkan ikatan suci keduanya, dan tidak seorang pun bisa mewujudkan kedengkian di antara keduanya.

Dalam kehidupan rumah tangga, perlu adanya pengungkapan rasa kasih sayang dari kedua belah pihak, di berbagai kondisi. Bila suami atau istri berpikir bahwa kasih sayang hanya berurusan dengan hati, dan tidak perlu diungkapkan, maka kehidupan rumah tangga akan menjadi dingin dan senyap, dan kecintaan masing-masing terhadap pasangannya akan memudar.

Sebagai penutup, untuk memiliki sebuah barang boleh jadi seseorang mudah untuk mendapatkannya. Tetapi menjaganya tidak semudah yang dibayangkan. Perlu adanya tips-tips, sehingga barang tetap awet dan terjaga.

Boleh jadi seseorang mudah untuk mengikat sebuah ikatan perkawinan, namun menjaga ikatan, perlu ilmu dan cara-cara yang diperlukan, karena pasangan kita bukan barang, melainkan orang. Orang yang memiliki perasaan. Di sinilah kita harus menjaga perasaan pasangan kita, agar ikatan suci perkawinan tetap terjaga sampai kita tua.





[1] . Muhammad Ray Shahri, Muntkhab Mizan Al-Hikmah, talkhis Sayyid Hamid Al-Husaini, Dar Al- Hadis, 1383 H.S, hal 171, hadis 1962.

[2] . Lihat, Muntkhab Mizan Al-Hikmah, hadis-hadis akhlak buruk, hal 171.

[3] . Nahjul Balaghah, Hikmah 143.

[4] . Mahajjah Al-Baidho, jilid 3, hal 88.

[5] . Mizan al-Hikmah, hadis no. 18190.

[6] . Al-Kafi, jilid 2, hal 206.

[7] . QS, Al-Humazah: 1.

[8] . Mizan Al-Hikmah, hal 401.

[9] . Ibid.

[10] . Al-Kafi, jilid 2, hal 459.

[11] . Mizan Al-Hikmah, jilid 2, hadis ke 9196.

[12] . Wasail As-Syiah, jilid 14, hal 10.

-----------------------------------------------------------------------------------------
Soal: Apa peran iman dalam kehidupan manusia?

Jawab: Bila Anda memasuki sebuah rumah yang tidak ada pemiliknya, tidak memiliki kamera untuk merekam perbuatan Anda di rumah tersebut, maka tidak ada alasan buat Anda untuk bersikap santun dan menjaga tata krama. Di rumah yang tidak ada aturannya, kita bebas. Apa saja yang kita lakukan tidak ada hubungannya dengan orang lain. Bila untung, maka kembali pada diri kita sendiri. Dan, bila rugi, maka kita sendirilah yang merugi.

Hal ini akan sangat berbeda bila Anda memasuki sebuah rumah yang ada pemiliknya. Pemilik yang senantiasa mengawasi gerak langkah kita. Pada kondisi semacam ini, cara hidup kita akan berbeda dengan sebelumnya.

Bila kita beriman bahwa dunia ini ada yang punya. Namanya adalah Allah Yang Maha Bijaksana. Ada hari akhir untuk mengevaluasi segala tingkah laku kita yang disebut Ma’ad. Setiap pikiran, ucapan dan perbuatan kita telah disiapkan pahala atau siksa.

Hidup dalam kondisi seperti ini menuntut perhitungan lain. Kita akan menghitung dan mengawasi perbuatan kita sendiri. Hawa nafsu yang senantiasa bergejolak hendaknya dikendalikan. Perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan oleh pemilik dunia ini hendaknya tidak kita lakukan. Karena kita tahu, seluruh perbuatan; baik atau buruk, akan dicek oleh-Nya. Allah senantiasa bersama kita.[infosyiah]

Soal: Amar makruf dan nahi mungkar kewajiban semua atau kelompok tertentu saja?

Jawab: Pengemudi mobil yang melanggar aturan di jalan yang hanya memiliki satu jalur dengan mengendarai mobilnya berlawanan arah, dapat disikapi dengan dua hal. Pertama, semua pengendara membunyikan klakson mobilnya. Kedua, polisi menghentikan pengendara tersebut dan menilangnya.

Al-Quran memerintahkan kepada semua kaum muslimin untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Allah berfirman: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imran: 110).

Dalam ayat lain Allah memerintahkan kepada sekelompok orang untuk melaksanakan kewajiban amar makruf dan nahi mungkar: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar” (Ali Imran: 104).[infosyiah]

Thursday, January 11, 2007

Edisi 23

Dhul-Hijjah: Bulan Penyempurnaan Agama Islam

Oleh: Teguh Sugiharto, SE

Umat Islam seluruh dunia merayakan tanggal 10 Dhul-Hijjah sebagai hari raya yang ditandai dengan pemotongan hewan kurban. Peristiwa ini dilaksanakan untuk memperingati peristiwa penyembelihan Ismail as putera Ibrahim as. Penyembelihan ini diperintahkan Allah SWT sebagai ujian pada keimanan dan ketaatan mereka berdua. Juga sebagai sebagai contoh pengorbanan di jalan Allah SWT. Setelah penyembelihan ini beliau –dan keturunaannya yang disucikan- diangkat sebagai Imam bagi seluruh umat manusia. Argumentasi historis maupun tekstual mengenai hal ini telah menjadi sebuah pengetahuan yang diketahui hampir seluruh umat Islam.

Namun umat Islam pada umumnya melupakan atau malahan tidak mengetahui bahwa dalam bulan Dhul-Hijjah juga terjadi peristiwa lain yang tidak kalah besar (untuk tidak mengatakan jauh lebih akbar) untuk diperingati. Yaitu pada tanggal 18 Dhul-Hijjah 10 Hijrah (Haji Wada’) turun ayat penyempurnaan agama dan keridhaan Allah SWT pada umat, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS 5: 3). Artinya pada hari tersebut selesailah tugas Rasulullah SAW menyampaikan risalah. Hanya sebagian kecil umat Islam yang dengan konsisten merayakan dan memperingati hari bersejarah ini dan menyebutnya sebagai hari raya Idhul Ghadir mengambil nama tempat turunnya ayat tersebut.

Tampak jelas dalam ayat di atas bahwa Islam disempurnakan oleh Allah SWT sebagai agama bagi manusia sampai dengan akhir zaman. Penyempurnaan agama Islam terjadi sesudah Allah SWT menganugerahkan sebuah nikmat (telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku). Nikmat menjadi kata kunci dalam memahami ayat di atas karena nikmat tersebut adalah nikmat tersebut adalah sesuatu yang menjadi sebab sempurnanya agama dan dengannya Allah SWT meridhai Islam sebagai agama bagi manusia.

Sebagai umat yang selalu diperintahkan Allah SWT agar menggunakan akalnya maka sudah sewajarnyalah kita berusaha mendalami dan mencari makna atau tafsir dari ayat ini. Ayat ini dapat menjadi modal awal perenungan dan pencarian sehingga kita juga akan memperoleh nikmat tersebut dan mendapat keridhaan Allah SWT. Pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah nikmat apakah yang dimaksudkan oleh ayat tersebut. Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam khazanah Hadist dan tinjauan sejarah agama. Namun artikel ini hanya akan mencari jawabannya dalam Al-Qur’an. Itupun hanya sekadar pemicu atau petunjuk ringkas saja yang semoga dapat mendorong kita semua kembali membuka dan mempelajari Al-Qur’an yang merupakan petunjuk Allah yang akan tetap terjaga kebenaran dan keotentikannya sampai akhir zaman. Jika belum mampu memahami bahasa Arab maka merenungkan terjemahnya pun telah mencukupi sambil terus mencari dari berbagai sumber khususnya dari para ulama dari berbagai ragam pemikiran agar didapatkan kesimpulan umum yang cukup memuaskan dahaga keberagamaan.

Ternyata nikmat dimaksud dipandang Allah SWT sebagai sesuatu hal yang sangat penting. Malahan sebagai kunci sempurna atau cacatnya keislaman seseorang. Allah SWT berulangkali menanyakan nikmat tersebut khususnya dalam surat Ar-Rahman. Dalam surat ini setelah Allah SWT terangkan tentang berbagai nikmat yang dikurniakan kepada manusia maka Allah SWT menanyakan tentang nikmat. Alhasil, nikmat yang ditanyakan adalah nikmat yang belum disebutkan dalam surat ini. Maka untuk mengetahui nikmat apakah yang dimaksud kita harus mencari jawabannya dalam berbagai surat lainnya. “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar Rahman: 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77). Silakan meneliti Al-Qur’an tentang hal ini!

Tentang pentingnya nikmat dimaksud secara jelas dapat kita temukan dalam banyak ayat khususnya QS 55: 39, “Pada waktu itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya.” tetapi “kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang nikmat.” (QS 102: 8) Ternyata Allah SWT pada hari kiamat tidak akan menanyakan dosa yang telah kita buat namun Allah SWT hanya menanyakan: apakah manusia mensyukuri nikmat yang menjadi sebab disempurnakannya Islam. Jelas yang ditanyakan pastilah hal yang sangat besar. Tanpa mengakui dan membawa nikmat ini maka Islam yang dibawa seseorang pada hari kiamat akan dipandang sebagai Islam yang tidak sempurna (karena Islam dipandang sebagai sempurna setelah Allah menganugerahkan nikmat dimaksud) alias Islam yang cacat. Apakah Allah SWT yang Mahasempurna menerima Islam yang cacat? “Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan” (QS Al Mursalat: 15, 19, 24, 28, 34, 37, 40, 45, 47, 49). Mengerikan...! Yang Mahabesar yang menyatakan bahwa siapapun yang mendustakan nikmat tersebut akan mendapatkan kecelakaan yang besar.

Menurut Al-Qur’an, Allah SWT tidak akan menerima ke-Islam-an seseorang yang tidak mensyukuri nikmat dimaksud karena penolakan (atau ketidaktahuan) ini menjadi penanda bahwa sesungguhnya keislaman seseorang mengandungi cacat yang fatal. Seseorang tersebut akan termasuk dalam kategori mereka yang menyimpang dan dimurkai. Bukti akan hal ini dapat dijumpai dalam bacaan shalat. Namun sayangnya kebanyakan umat Islam lengah dan telah merasa cukup dengan apa yang dilakukannya sehingga tidak memperhatikan makna bacaan shalatnya. Bukankah dalam setiap shalat, kita senantiasa membaca Surat Al-Fatihah? Tidakkah di dalamnya terdapat ayat, ihdinash shiratal mustaqim (QS 1: 6), penggunaan kata ash-shirat menunjukkan bahwa kata tersebut adlah kita tunggal. Dengan demikian terjemah dari ayat ini seharusnya adalah “Tunjukilah kami satu-satunya jalan lurus.” Setiap hari minimal 17 kali kita memohon petunjuk, namun sudahkah kita mendengar dan merenungkan jawaban Allah SWT yang ternyata langsung diberikan seketika itu juga.

Allah SWT menjawab permohonan kita dengan menunjukkan satu-satunya jalan lurus. Jalan lurus yang akan mengantarkan kita kepada Allah SWT, kepada tujuan penciptaan manusia adalah “...jalan mereka yang Engkau anugerahi Nikmat kepada mereka” (QS 1: 7) “bukan jalan mereka yang dimurkai dan sesat.” Dari ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa nikmat yang dimaksud dalam QS 5: 3 yang disebut di awal artikel adalah bahwa manusia dapat termasuk ke dalam golongan mereka yang dianugerahi nikmat hanya dan hanya jika mengikuti dan taat kepada mereka. Pertanyaan selanjutnya adalah “Siapakah mereka yang dianugerahi nikmat yang menjadi sebab sempurnanya agama tersebut?” Dan “Nikmat apakah yang dianugerahkan kepada mereka sehingga kita diperintahkan mengikuti mereka?”

Artikel ini tidak berpretensi untuk menjawab dua pertanyaan penting di atas. Pertanyaan yang jawabannya akan menghantarkan manusia pada keselamatan di hari kiamat nanti. Pembaca silakan mencari jawabannya dalam Al-Qur’an. Slogan kembali kepada Al-Qur’an dapat diwujudkan jika umat Islam kembali membuka dan mempelajari makna kandungannya secara kritis. Tujuan artikel ini hanya untuk mengingatkan kembali umat Islam tentang pentingnya menjadikan tanggal 18 Dhul-Hijjah sebagai salah satu hari raya minimal sebagai momentum umat Islam kembali mempelajari Al-Qur’an karena pada hari itu telah terjadi sebuah peristiwa dahsyat. Peristiwa penyempurnaan agama dan diridhainya Islam oleh Allah SWT. Bahkan penyembelihan Ismail as oleh Ibrahim as hanya merupakan satu bagian kecil dari kesempurnaan Islam.

Peristiwa penyembelihan tersebut haruslah dimaknai sebagai contoh pengorbanan seorang manusia dalam mencapai kesempurnaan penciptaannya. Dalam pencapaian tujuan hidupnya. Dewasa ini umat Islam bahkan tidak mau mengorbankan waktunya sekadar untuk mempelajari agamanya. Maukah anda mengorbankan waktu, tenaga, dan pemikiran mengkaji Al-Qur’an sekadar mencari jawaban atas dua pertanyaan di atas? Allah SWT tidak perintahkan kita menyembelih putera kita tercinta sebagaimana pernah diperintahkan kepada Ibrahim as? Akankah kita sanggup jika Allah SWT memerintahkan pertobatan dengan membunuh diri kita sebagaimana pernah Allah SWT perintahkan kepada umat Musa as? Allah SWT pun tak pernah menimpakan bala’ dan bencana (azab) sebagaimana ditimpakan kepada umat-umat terdahulu akibat penentangan mereka terhadap perintah-Nya.

Al-Qur’an pun telah mengingatkan bahwa masuk syurga itu tidak mudah, seperti tersebut dalam QS 2: 214, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) ...” Umat terdahulu telah diuji dan disaring Allah SWT dengan malapetaka dan bencana. Sekarang masihkah kita tetap tidak mengambil pusing peringatan Allah SWT. Marilah kita mencari jalan menuju Allah SWT berdasarkan kartu nama yang telah diberikannya kepada umat manusia yaitu Al-Qur’an.

Akhir kata, mengingat pentingnya kejadian pada tanggal 18 Dhul-Hijjah 10 H (Haji Wada’) sudah sewajarnyalah kita semua memperingatinya demi mendapatkan petunjuk kebenaran. []

Dikutip dari Islam Alternatif

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Pada Hari ini Telah Kusempurnakan…”

Oleh: Yasser Arafat

Pada kesempatan kali ini, saya akan menyampaikan sedikit mengenai salah satu dari sekian banyak sejarah Islam yang telah hilang dari ingatan mayoritas umat Islam.

Pada tanggal 18 Zulhijah, ada sebuah sejarah – kalau boleh saya mengatakan peristiwa tersebut adalah sejarah besar. Saya menyebutnya sebagai sejarah disempurnakannya Agama Islam. Jarang di antara kita yang mengetahui riwayat ini. Bahkan sebagian kaum Muslimin menganggap bahwa riwayat ini adalah riwayat dho’if.

Jadi, pada tanggal 18 Zulhijah, Rasulullah sawaw beserta kaum Muslimin –setelah melaksanakan ibadah haji- berangkat dari Makkah menuju Madinah. Di tengah perjalanan di tempat yang bernama Khum, Malaikat Jibril turun membawa wahyu Allah Swt: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Q.S al-Maidah 67)

Ayat tersebut mengandung makna bahwa Nabi diperintahkan oleh Allah Swt untuk menyampaikan suatu amanat yang sangat penting. Namun Nabi sawaw ragu untuk menyampaikannya, karena Nabi khawatir kalau-kalau umatnya akan menolak amanat tersebut. Lalu Allah memberinya jaminan bahwa beliau akan dilindungi dari gangguan manusia. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir, yaitu orang-orang yang menolak amanat tersebut.

Rasulullah menyuruh sahabatnya untuk berhenti dan membangun mimbar dari pelana-pelana kuda. Di atas mimbar tersebut Rasulullah sawaw menyampaikan pidatonya. Pidato Rasulullah tersebut sangat panjang, sehingga di sini saya akan menyampaikan ringkasannya saja.Nabi berkata, “Wahai manusia, mungkin aku akan segera menerima panggilan Ilahi dan akan berpisah dari kalian semua……”

“Apakah kalian bersaksi bahwa Tuhan semesta alam adalah satu dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya dan bahwa tidak ada keraguan tentang kehidupan di akhirat?”

Mereka semua berkata, “Ya, kami bersaksi atasnya.”

Kemudian Nabi berkata, “ Wahai manusia, aku akan meninggalkan kepada kalian dua hal yang sangat berharga (tsaqalain) sebagai wasiat kepada kalian dan akan dilihat bagaiamana kalian memperlakukan keduanya.”

Seorang lelaki berdiri dan berkata, “Apa dua hal itu ya Rasulullah?”

Nabi menjawab, “Satu darinya adalah Kitab Allah yang satu sisinya terhubung kepada Allah dan sisi lainnya berada di tangan kalian. Satunya lagi adalah al-Itrah Ahlulbaytku. Keduanya tidak akan terpisah selama-lamanya sampai menemuiku di al-haudh.”“Janganlah kalian mendahului keduanya dan jagalah perilaku kalian terhadap mereka, supaya kalian tidak binasa.”

Lalu beliau sawaw mengangkat tangan Ali k.w sehingga terlihat kedua ketika Ali yang putih. Nabi berkata, “Allah adalah maulaku dan aku adalah maula kaum Mukmin. Aku lebih pantas dan berhak atas kaum mukmin daripada diri mereka sendiri.”“wahai manusia, siapa yang aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya juga. (Man kuntu maula fa’aliyuun maula).” (Nabi mengulang sampai 3 kali).“Ya Allah, cintailah orang yang mencintai Ali dan musuhilah yang memusuhinya…..”

Setelah itu Malaikat Jibril turun membawa wahyu Allah Swt: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah 3)

Jadi wahyu dari Allah yang menjadikan sempurnanya agama Islam ini adalah diangkatnya Ali sebagai maula kaum Mukmin.Apa arti maula itu? Maula adalah orang yang lebih pantas dan lebih berhak atas kaum mukmin dari diri mereka sendiri atau bisa dikatakan bahwa maula itu adalah pemimpin.

Riwayat ini termasuk riwayat yang sangat mutawatir. Al-Dzahabi, seorang ahli kritik hadits berkata bahwa riwayat tersebut mutawatir, artinya banyak sekali yang meriwayatkannya. Al-Allamah al-Amini dalam kitab al-Ghadir menyebutkan 110 sahabat besar yang meriwayatkan hadits ini. Menurut Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari juz 7 hlm.74, “Adapun hadits man kuntu maula fa’aliyun maula dikeluarkan oleh Turmudzi dan al-Nasa’i dan sanadnya sangat banyak.”

Inilah secara singkat apa yang terjadi pada peristiwa bersejarah itu, yaitu penyempurnaan Islam. Marilah kita sampaikan pujian kepada Allah yang telah menyempurnakan agama ini, atas kesempurnaan nikmat-Nya dan keridhoan Tuhan terhadap risalah Rasulullah sawaw dan kepemimpinan Ali k.w sesudah Rasulullah sawaw.[]